Banyak dari kita tumbuh dengan gambaran Bumi sebagai bola biru yang bulat sempurna, seperti yang sering kita lihat dalam buku atau film. Namun, kenyataannya sedikit lebih kompleks. Planet yang kita tinggali ini bukanlah bola yang ideal. Akibat rotasinya yang konstan pada porosnya, Bumi menjadi sedikit lebih rata di bagian kutub dan sedikit menggelembung di sekitar khatulistiwa. Fenomena ini menghasilkan bentuk yang secara teknis lebih mirip oblate spheroid atau sferoid yang mendatar di bagian kutub. Perbedaan diameter antara kutub (sekitar 12.714 km) dan khatulistiwa (sekitar 12.756 km) adalah bukti nyata dari bentuk yang tidak seragam ini, sebuah fakta fundamental dalam sains kebumian.

Untuk merepresentasikan bentuk Bumi yang sesungguhnya dengan lebih akurat, para ilmuwan menggunakan sebuah model yang disebut geoid. Cara termudah untuk membayangkannya adalah dengan sebuah analogi: jika seluruh permukaan Bumi tertutup oleh air, tanpa ada angin, pasang surut, atau arus, sehingga lautan berada dalam keadaan tenang sempurna, maka bentuk permukaan air imajiner inilah yang merepresentasikan geoid. Menurut National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), geoid secara teknis adalah “permukaan ekuipotensial gravitasi Bumi.” Artinya, di setiap titik pada permukaan geoid, potensi gaya tarik gravitasinya sama. Karena distribusi massa di dalam Bumi tidak merata—ada pegunungan, palung laut, dan perbedaan kepadatan batuan medan gravitasinya pun bervariasi. Variasi inilah yang menyebabkan permukaan geoid menjadi tidak beraturan, dengan tonjolan dan lekukan yang mengikuti anomali gravitasi planet kita.

Meskipun geoid adalah representasi paling akurat dari bentuk fisik Bumi, permukaannya yang tidak beraturan sangat sulit untuk digunakan dalam perhitungan matematis. Di sinilah peran elipsoid dibutuhkan. Elipsoid adalah model matematis sederhana yang “menghaluskan” bentuk Bumi menjadi sferoid yang bentuknya lebih rata di kutub dan mulus, sehingga dapat didefinisikan dengan rumus matematika yang presisi. Menurut Badan Informasi Geospasial (BIG) Indonesia, elipsoid referensi digunakan sebagai dasar untuk sistem koordinat horizontal seperti Lintang dan Bujur yang kita gunakan pada GPS. Jadi, sementara geoid mendefinisikan bentuk fisik yang “sebenarnya”, elipsoid menyediakan permukaan referensi yang jauh lebih praktis untuk keperluan pemetaan, navigasi, dan sistem penentuan posisi global (GPS).

Hubungan antara geoid, elipsoid, dan permukaan topografi dapat dijelaskan melalui konsep ketinggian. Perhatikan ilustrasi berikut yang menunjukkan keterkaitan antara ketinggian ortometrik (H), ketinggian elipsoid (h), dan undulasi geoid (N):

Hubungan antara Ketinggian Ortometrik (H), Ketinggian Elipsoid (h), dan Undulasi Geoid (N).

Dari ilustrasi tersebut dapat dilihat bahwa ketinggian yang biasa kita gunakan sehari-hari, misalnya meter di atas permukaan laut (mdpl), sebenarnya adalah ketinggian ortometrik (H). Nilai ini diperoleh dari selisih antara ketinggian elipsoid (h) yang diukur GPS dengan undulasi geoid (N).

Rumus ini menunjukkan bahwa ketinggian ortometrik yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa dipisahkan dari keberadaan geoid. Tanpa memperhitungkan geoid, hasil pengukuran GPS hanya berupa ketinggian terhadap elipsoid, yang tidak relevan untuk menyatakan “meter di atas permukaan laut”. Oleh karena itu, geoid memiliki peran yang sangat penting dalam pengukuran ketinggian. Ketika kita mendengar informasi bahwa puncak sebuah gunung berada pada ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl), nilai tersebut sebenarnya diukur dari permukaan geoid, bukan dari elipsoid.

Geoid berfungsi sebagai titik nol atau datum vertikal global. Tanpa referensi dari geoid, pengukuran ketinggian di satu benua tidak akan konsisten jika dibandingkan dengan ketinggian di benua lain. Oleh karena itu, geoid menjadi krusial dalam berbagai aplikasi rekayasa dan sains, mulai dari proyek konstruksi besar seperti bendungan dan jembatan, mitigasi bencana banjir, hingga pemantauan kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim.

Pada akhirnya, memahami perbedaan antara bentuk Bumi yang sebenarnya (geoid) dan model matematisnya (elipsoid) adalah salah satu tantangan utama sekaligus pengetahuan dasar dalam ilmu geodesi, yaitu ilmu yang mempelajari pengukuran dan representasi Bumi. Planet kita bukanlah bola yang sederhana, melainkan sebuah benda langit dinamis dengan bentuk kompleks yang dibentuk oleh gaya rotasi dan distribusi massa internalnya. Pemahaman akan konsep geoid tidak hanya penting bagi para ilmuwan kebumian, tetapi juga memberikan kita perspektif baru tentang bagaimana kita mengukur dan memetakan dunia di sekitar kita dengan presisi yang luar biasa.

Sumber :
Ince, E Sinem., Reibland, Sven. 2019. 15 years of successful collection and distribution of global gravitational models, associated services, and future plans. Earth Syst. Sci. Data, 11, 647–674, 2019
https://oceanservice.noaa.gov/facts/geoid.html
https://www.usgs.gov/faqs/what-a-geoid-why-do-we-use-it-and-where-does-its-shape-come
https://srgi.big.go.id/news/13.html
Google Gemini

Comment

Tulisan Lainnya

SPARK IN MERCATOR 2025

02.10.2025

Anak Geodesi Gak Cuman Ngukur! Mercator 2025: Eksplorasi Kreativitas Mahasiswa Teknik Geodesi UGM Yogyakarta

  • No React!

Bagaimana Bumi Menentukan Posisi Kita: Mengenal Sistem Koordinat

21.09.2025

Pernahkah kamu melihat angka derajat seperti 7°45’55.24” LS, 110°22’20.51 BT di Google Maps? Angka-angka

  • No React!

Theodolit: Dari Alat Survei ke Penentu Arah Ibadah

21.09.2025

Theodolit pertama kali diperkenalkan oleh Leonard Digges pada abad ke-16 sebagai alat sederhana untuk

  • No React!

Jejak Koordinat Bumi: Memahami Datum Geodesi, “Bahasa” di Balik Peta Digital

21.09.2025

Banyak dari kita tumbuh dengan gambaran bahwa koordinat lintang dan bujur adalah satu-satunya hal

  • No React!