Theodolit pertama kali diperkenalkan oleh Leonard Digges pada abad ke-16 sebagai alat sederhana untuk mengukur sudut.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berjalan beriringan dengan kebutuhan manusia. Dalam bidang geodesi dan ilmu falak, instrumen pengukuran sudut menjadi salah satu penopang penting. Salah satu instrumen yang menonjol adalah theodolit, alat ukur sudut yang sejak abad ke-16 telah digunakan untuk berbagai kepentingan, mulai dari survei tanah hingga penentuan arah kiblat. Evolusi theodolit menunjukkan bagaimana kemajuan teknologi mendukung praktik keagamaan, terutama bagi umat Islam yang membutuhkan ketepatan arah kiblat sebagai syarat sah ibadah salat.
Theodolit pertama kali diperkenalkan oleh Leonard Digges pada abad ke-16 sebagai alat sederhana untuk mengukur sudut. Pada masa Renaissance, kebutuhan peta presisi tinggi untuk navigasi dan eksplorasi mendorong pengembangan instrumen ini. Seiring waktu, theodolit diperkaya dengan teleskop, mekanisme bidik, serta skala pengukuran yang lebih akurat. Tokoh-tokoh seperti Tycho Brahe dan Giovanni Cassini berperan besar dalam memanfaatkan instrumen ini untuk pengamatan astronomi yang sekaligus berhubungan dengan penentuan arah kiblat pada masanya.
Theodolit mengalami evolusi dari abad ke abad, yaitu:
- Abad ke-17: Penambahan teleskop meningkatkan akurasi, menjadikan theodolit alat utama dalam astronomi dan falak.
- Abad ke-18: William Roy memanfaatkannya dalam survei geodesi besar di Inggris. Inovasi manufaktur membuat theodolit lebih presisi dan tahan lama.
- Abad ke-19: Carl Friedrich Gauss menggunakan theodolit dalam survei geodesi untuk menentukan bentuk Bumi. Pada masa ini muncul cikal bakal theodolit digital.
- Abad ke-20: Munculnya theodolit digital yang mampu menyimpan data dan bekerja lebih efisien, sering dikombinasikan dengan GPS.
- Abad ke-21: Theodolit modern dilengkapi layar digital, sistem otomatis, dan integrasi perangkat lunak pemetaan. Fungsinya bukan hanya untuk konstruksi dan survei, tetapi juga untuk kebutuhan keagamaan, khususnya penentuan arah kiblat dengan akurasi tinggi.
Bagi umat Islam, arah kiblat menuju Ka’bah di Mekkah merupakan syarat sah salat. Penentuan arah ini tidak sesederhana melihat peta, melainkan membutuhkan perhitungan geodesi berdasarkan lingkaran besar (great circle). Dengan kemampuan mengukur sudut hingga detik busur, theodolit menawarkan presisi tinggi. Dalam praktiknya, pengukuran dilakukan dengan cara:
- Menentukan posisi geografis pengamat
- Membidik matahari atau bintang sebagai acuan
- Menghitung azimuth arah kiblat berdasarkan koordinat dan waktu pengamatan
Kesalahan sekecil satu derajat dapat menyebabkan deviasi hingga lebih dari 100 km dari Ka’bah. Karena itu, theodolit menjadi instrumen penting yang memastikan arah kiblat benar-benar presisi, terutama dalam pembangunan masjid atau musala.
Keberadaan theodolit menunjukkan unity of science, yakni kesatuan antara ilmu pengetahuan dan kebutuhan spiritual. Dalam konteks geodesi, instrumen ini membantu survei teknik dan konstruksi; dalam ilmu falak, ia menjadi sarana memastikan umat Islam menghadap kiblat dengan benar. Transformasi ini membuktikan bahwa teknologi modern dapat berperan penting dalam menjaga kemurnian praktik ibadah.
SUMBER :
Yanto, M. F., & Izzuddin, A. (2025). Theodolit: Sejarah evolusi dalam penentuan arah kiblat. Jurnal Dinamika Pendidikan Nusantara, 6(2), 382–401.
https://madeupinbritain.uk/Theodolite