Gadis-gadis muda itu dibeli dari orang tua yang miskin dan memang secara tradisi tidak senang atas kelahiran anak-anak perempuan di keluarganya. Kemiskinan yang parah membuat banyak keluarga terperangkap dalam utang-utang besar yang dilunasi dengan cara menjual anak gadis.
Bayi-bayi malang dan para gadis itu ditampung Ny Lie di bagian kiri rumahnya yang akhirnya diperluas dan direnovasi. Bangunan yang kemudian diberi nama Roemah Piatoe Ati Soetji. Rumah piatu yang terkadang dilempari batu atau petasan oleh orang-orang yang terganggu oleh kehadirannya. Dan Ny Lie bersikukuh, tak takut ancaman dan teror sekalipun.
Ny Lie kerap pula menerima surat kaleng yang memberikan informasi tentang seorang gadis yang harus ditolong. Ia pun tanpa ragu mencari gadis itu, walaupun bahaya tak jarang mengadang. Seperti nyaris dibacok dan dicelurit para germo dan anak buahnya yang resah akan tindakannya. Namun berkat bantuan para polisi dan jaksa yang mendukungnya, kehadirannya saja telah membuat mereka ngeri.
Kelembutan Ny Lie juga melunakkan hati germo saat Ny Lie berkata hanya akan memberikan pendidikan dan bekal hidup bagi para gadis malang yang ia temukan, setelahnya boleh diambil. Itu membuat mereka tak jadi bersikeras. Ya walaupun akhirnya, kenyataannya, para germo itu tak ada yang berani mengambil karena takut berurusan dengan polisi. Para gadis itu belajar menjahit, merajut, menyulam, memasak, dan pekerjaan rumah tangga lain.
Setelah cukup dewasa banyak di antara mereka menikah dan melanjutkan kemampuannya itu bekerja menjadi penjahit, di warung, atau membuat kerajinan. Mereka menjadi perempuan baik-baik yang berguna bagi keluarga dan masyarakat. Ny Lie bahagia mengantarkan dan mendampingi mereka di mahligai perkawinan dan bangga mengetahui anakanak gadisnya hidup mandiri.
Buah memang tak jatuh dari pohonnya. Kedermawanan Ny Lie peroleh dari ayahnya, Seng Hoe, yang terbiasa menolong orang miskin dan cacat. Ny Lie ingat pada masa kecilnya beserta seluruh keluarganya bekerja sama untuk menyediakan kain kafan dan peti mati secara gratis, membagikan pakaian baru pada tahun baru atau lebaran, memberi pelajaran menulis dan membaca pada anak-anak buruh kebun, serta memberi makan para pengemis dan gelandangan.
Saat kecil, Tjoei Lan, nama lahir Ny Lie, bertanggung jawab mengawasi para karyawan dapur melepaskan duri ikan yang akan dimakan para pengemis. Duri-duri itu harus dilepas dari daging ikan agar tidak tertelan oleh orang buta saat makan. Suatu hari, Seng Hoe menemukan masih ada duri belum dilepaskan dari ikan. Dia marah besar kepada Tjoei Lan. Seng Hoe menyentil anak gadisnya yang dianggap tidak bertanggung jawab. Pengalaman itu sangat membekas pada diri Tjoei Lan.
Terhadap pengemis, pengemis yang dianggap nista dan anggota masyarakat berkasta yang paling rendah, dan tak ada hubungan saudara, ayahnya mengajarkan untuk berbuat baik hingga ke hal-hal yang dianggap kecil dan remeh. Kasih untuk menolong tertanam dalam jiwa Tjoei Lan sejak kecil. Jiwa melayani dan berbudi baik tertanam dalam relung hatinya yang terdalam.
Namun apakah ia senang dianggap dermawan, kelak, ketika namanya termasyur di Batavia? Ia sesungguhnya selalu menolak bila ada kerabat atau wartawan mencoba mengangkat perihal jerih upaya sosialnya di media massa mereka. Ia tak suka niat ikhlasnya terlumuri oleh keinginan dianggap dermawan.
Dua puluh tiga tahun setelah Roemah Piatoe Ati Soetji didirikan, masalah perdagangan anak-anak perempuan yang dijadikan pelacur mendapat perhatian.
Konverensi Liga Bangsa-Bangsa — yang kelak akan berkembang menjadi Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) — secara khusus membicarakan masalah itu di Bandung pada 1937, dan Ny Lie hadir pada pertemuan itu.
Sayang, ketika Jepang masuk dan berkuasa, rumah piatu itu ditutup paksa. Puluhan bayi dan anak gadis terpaksa berpencar ditampung di tempat- tempat saudara Ny Lie. Mereka tersebar bertahun-tahun, dan saat Indonesia merdeka, atas panggilan nurani, Ny Lie mengumpulkan mereka kembali dan membangun Ati Soetji lagi yang hancur karena peperangan.
Teguh Karya atau Steve Lim, pria yang terlahir dengan nama Lim Tjoan Hok, pada 1960, mendatangi Ati Soetji, bertemu Ny Lie dan berencana mengadakan pementasan teater untuk penggalangan dana. Pementasan yang berlangsung selama dua hari itu melibatkan seluruh anak panti di Schouwburg (sekarang Gedung Kesenian Jakarta) dan berlangsung dengan sukses. Namun, Ny Lie tak suka ending-nya.
Pementasan yang mengangkat kisah hidup dan pengabdian Ny Lie itu ditutup dengan adegan anak-anak Ati Soetji menaburkan bunga melati di atas “pusara” Ny Lie, padahal saat pementasan berlangsung Ny Lie masih segar bugar dan menonton di deretan kursi terdepan. Walau tak suka, Ny Lie tetap memberikan penghargaan tertinggi pada Teguh Karya. Itulah sikap kemanusian sejati.
(selesai)
……………………..
Han Gagas, alumni Geodesi UGM angkatan 1998, penerima penghargaan cerpen Kompas 2017, dan novelnya Balada Sepasang Kekasih Gila difilmkan Falcon pictures dan bisa ditonton di Klik Film (2022).
1 Comment