Pendahuluan
Sms dari pak Maryo (30/1/09 jam 11:15:31) sangat mengejutkan saya, beliau menulis bpk kami pandang termasuk almuni sukses….., serta telepon dari panitia dengan nada yang serupa. Bak halilintar positif yang menghantam saya tiba-tiba, sehingga saya terhenyak untuk merenung, membalik ingatan akan kilas balik menapak ke belakang, hingga saat penerimaan menjadi mahasiswa Teknik Geodesi yang membanggakan, terus diruntut ke depan menapaki kehidupan hingga saat ini saya memencet tombol untuk mengetik dengan sistem sebelas jari. Alllamaaak, opo betul ini??? Bak orang Jawa bilang…wang sinawang… Alhamdulillah dan terima kasih pak, meski pak Maryo cs mengkatagorikan saya demikian, akan tetapi kehidupan saya biasa-biasa saja, tidak ada lonjakan kehidupan duniawi yang signifikan yang saya alami dan jalani, dibandingkan dengan teman-teman seangkatan apalagi teman-teman senior, mereka sudah menjadi pejabat dan pengusaha sukses, baik dalam trek geodesi maupun diluar jalur geodesi, betul-betul saya pribadi dan keluarga jauh dari katagori “sukses” yang pak Maryo dan teman-teman sandangkan kepada saya.
Namun demikian, saya ambil spirit-nya ulang tahun emas Geodesi UGM, Insya Allah. merupakan salah satu jurusan yang menjadi aset negara dan bangsa yang berharga bagi mengisi kemerdekaan Indonesia. Saya tergerak hati untuk sedikit menulis pengalaman hidup dan survival saya selama menjadi mahasiswa sampai bekerja hingga saat ini, meskipun secara singkat, mengingat harus 5-6 halaman sesuai syarat panitia. Hal ini perlu, agar dapat dibaca oleh generasi muda Geodesi UGM, sehingga di masa mendatang, yang masih panjang bagi mereka, tidak keliru melangkah, mengikuti kesalahan yang telah dibuat oleh kakak-kakak mereka, akan tetapi melangkah pasti, dengan menapaki kesuksesan kakak kakak mereka, generasi tua Geodesi UGM, yang sudah uzur dimakan waktu, menanti pulang ke kampung halaman yang abadi, untuk menghadap Khaliknya. Semoga bermanfaat.
Menjadi mahasiswa Geodesi UGM
Apalah arti sebuah nama, kata pujangga Inggris (William Shakespeare, 1564-1616). namun nama bagi orang Timur merupakan sebuah makna, yang akan disandangnya selama hayat, bahkan dikenang orang setelah wafatnya. Demikian pula dengan nama Geodesi UGM. terus terang, saya memilihnya, setelah tamat SMA di Yogyakarta, karena tidak ada pelajaran Kimia di dalamnya, yang paling tidak bisa saya kuasai selama di sekolah menengah, serta masih berada di Yogya, kota saya dibesarkan, sehingga memperingan beban orang tua untuk membiayai saya nantinya. Alhamdulillah, saya diterima, hal ini bukan karena saya pandai, tetapi lebih karena jurusan masih mempunyai jatah bangku kuliah untuk saya duduki, lain halnya dengan keadaan sekarang yang mengharuskan calon mahasiswa harus pandai dan mempunyai biaya yang cukup untuk bisa menjadi mahasiswa.
Perpeloncoan Fakultas Teknik selama hampir 2 minggu, yang konon saat itu paling serem di UGM, saya jalani dengan kepala botak dan sepeda ontel yang sadelnya harus dibalik sehingga agak susah dikayuh dan dikendalikan pada awalnya, setelah itu lancar-lancar saja. Berangkat sebelum subuh, pulang lebih dari tengah malam dengan masih dimuati tugas-tugas yang harus selesai untuk acara besoknya, baik tugas perorangan maupun berkelompok, dengan tentunya merepoti seluruh anggota keluarga, serta pagi, siang, hingga malam selalu menerima bentakan dan ancaman dari kakak-kakak senior/seniorita, lengkap dengan push up dan scotch jump-nya, demikianlah rutinitas selama perpeloncoan yang kami hadapi. Alhamdulillah selamat semua satu angkatan 1974.
Kuliah di Geodesi UGM
Tempatnya di Sekip Unit IV, satu atap dengan Teknik Kimia dan Teknik Nuklir serta Perpustakaan Fakultas Teknik, yang dikelilingi oleh pohon-pohon cemara besar, yang berbunyi mendesir bila tertiup angin, dengan bau khas alami cemara bila selesai hujan, serta jendela-jendela besar ruang kuliah yang dibuka lebar-lebar, maklum tidak ada AC. Wah…… sampai hayat lepas dari badan, tak akan lupa situasi lingkungan seperti itu. Saat itu perkuliahan memakai tingkat-tingkatan, yaitu 1, 2, 3, Sarjana Muda/BSc, 4, 5, Pendadaran Sarjana, dan Wisuda/Insinyur (Ir). Penilaian ujian melalui penggolongan L (lulus), U (ulang). dan K (kurang) alias tidak lulus. Karena tidak cukup smart, maka saya belajar bersama teman-teman. Kebanyakan bapak-bapak dosen menggunakan prinsip Robi Darwis (pemain sepak bola terkenal saat itu) tapi hanya kepanjangan namanya saja yaitu ora biso moDar yo wis, boso Indonesianya adalah ya kalo nggak bisa matilah ente, tidak ada yang bisa bantu, sehingga problem perlu dicari solusinya, secara bersama kita belajar dan memecahkan problem tersebut.
Disebabkan sistem belajar dan mengajar saat itu, serta otak saya yang kurang smart, sehingga perkuliahan memerlukan waktu yang lama, maka saya sempatkan mengikuti pendidikan terjun bebas di Jakarta, dan pulang mendirikan Klub Terjun Payung Gadjah Mada (GPC-Gadjah Mada Parachute Club), serta ‘disambi’ naik turun gunung dan camping di alam terbuka, itu semua untuk mengatasi kejenuhan di Geodesi UGM. Setelah 7 (tujuh) tahun berkecimpung di kampus Geodesi UGM, maka Agustus 1981 saya mengikuti wisuda setelah lulus sebagai Insinyur Teknik Geodesi. Berikutnya, negara Indonesia tercinta memanggil warganya untuk ikut sebagai Wajib Militer, dan saya ketiban sampur untuk mengikuti tes-tes yang pemerintah adakan melalui instansi-instansi militernya.
Wajib Militer (Wamil)
Tes-tes militer saya ikuti terus hingga saya diharuskan ke Jakarta untuk mengikuti tes yang dilakukan oleh Angkatan Laut, secara bersamaan saya ikut melamar ke perusahaan-perusahaan survei swasta yang mengundang saya untuk tes dan wawancara. Apa hendak dikata proses Wamil berjalan secara cepat hingga saya dibawa ke Bandung (Hegarmanah-Panorama) untuk mengikuti Latihan Dasar Militer di Secapa Angkatan Darat Panorama Bandung selama 3 bulan lebih. Latihan dasar ini berbasiskan Infanteri, dari yang tidak bisa mengangkat senjata (BM 59) karena berat hingga mahir menggunakannya, dari yang tidak tahu taktik beregu hingga mengerti gerakan batalyon dalam menyerang, dari yang tidak tahu ngerumpi hingga piawi berkomunikasi secara militer, dari yang tidak pernah berendam air comberan hingga tahan udara super dingin yang menyengat tubuh, dari yang tidak pernah senam hingga lancar berlari naik turun bukit berkali-kali, yah semua latihan keinfanterian saya lahap dalam kurun waktu tersebut. Dilanjutkan ke Surabaya untuk dilatih ke Angkatan Laut selama 2 bulan dan langsung ditempatkan ke Jawatan Hidro-Oseanografi (Janhidros) Angkatan Laut, yang berkantor di Jakarta, dengan pangkat Perwira Pertama.
Dinas di Ketentaraan
Pengalaman kerja praktek di tingkat 3 bidang Hidrografi banyak membantu dan memperlancar dalam tugas-tugas pekerjaan saya di kantor Janhidros ini, disamping beberapa orang yang sudah saya kenal sebelumnya, sehingga membawa saya sering ke lapangan melaksanakan survei dan pemetaan laut di beberapa tempat di Indonesia. Pengalaman menjadi ahli di lapangan cukup merepotkan bagi saya, mungkin karena lingkungan kantor saya yang kurang memberikan penghargaan kepada orang lapangan (pada saat itu, entah sekarang ini). Bila dicermati orang-orang kantoranlah yang lebih berhasil (materi maupun promosi) dibanding yang berpeluh keringat seperti saya, serta mereka lebih pandai ngomong dan bergaul dibandingkan orang-orang lapangan yang kaku-kaku dan tidak bisa bersilat lidah. Untuk itu saya siasati dengan kerja lapangan pendidikan lapangan – pendidikan dst, jadi diselang seling antara bekerja di lapangan dan mengikuti pendidikan seperti kursus, sekolah, pelatihan dsb. Saya ambil bidang pendidikan karena pada saat itu kebanyakan orang enggan untuk masuk pendidikan, tidak seperti sekarang ini, hingga lumayan ilmu tambahan yang saya peroleh baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Disamping itu, kerja lapangan dengan orang asing jarang diminati orang karena kerja berat, tambahan penghasilan yang sedikit (dipotong oleh level atas), dan bahasa asing pula. Ajang ini merupakan hal yang istimewa bagi saya, bisa mempraktekkan apa yang telah saya punyai serta menambah wawasan dan pengetahuan baru bisa saya peroleh. Sehingga. saya mempunyai suatu kesimpulan bahwa ilmu harus dicari dan ditambah selama hayat masih di kandung badan, kemudian rejeki baru datang kepada kita. Jangan di balik rejeki yang kita kejar dengan mengabaikan ilmu, hal ini akan nampak hasilnya di awal tapi dengan cepat akan menyusut karena keusangan ilmu. Rumus ini membawa saya mengisi formulir beasiswa pemerintah Australia, yang disodorkan kepada saya, untuk mengikuti program master bidang GIS. Alhamdulillah diterima dan lancar saya ikuti meskipun umur sudah lanjut. Selesai program master, saya diminta untuk menjadi Kepala Jurusan Hidrografi (jurusan baru) di Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut (STTAL) yang mahasiswanya adalah perwira-perwira Angkatan Laut. Amanah ini saya jalani dengan baik, kemudian pindah menjadi peneliti dan perwira penuntun di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (Seskoal).
Bekerja, melatih, dan mendidik menjadi rutinitas pekerjaan saya di ketentaraan, hingga saya menjadi jenuh. Timbul dalam pikiran saya untuk pindah instansi. Pertanyaan timbul, pada masa reformasi ini, Departemen atau Kantor mana yang mau menerima tentara ? Departemen Pertahanan adalah solusinya.
Ganti Kantor
Alhamdulillah, pergantian dari Angkatan Laut ke Departemen Pertahanan (Dephan) boleh dibilang mulus, karena mungkin mekanismenya yang sudah jelas dan terbiasa. Kantor baru saya di Dephan adalah Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang). Dengan harapan menjadi seorang peneliti yang benar-benar di bidang pertahanan dan militer, namun situasi saat itu mengharuskan lain, karena badan ini sudah eksis dan terbiasa dengan pola litbang “seadanya” (semoga saat ini sudah berubah). Oleh karenanya pendapat-pendapat saya tidak mendapat respon yang baik di kantor ini, membuang waktu dan ongkos tol serta banyak nganggurnya (hampir tiap pagi nonton oprah show di acara TV) menyebabkan saya harus berpikir untuk pindah kantor (masih dalam satu departemen) yang saya inginkan, yaitu masih ada kaitannya dengan survei dan pemetaan, Alhamdulillah, karena belum ada perwakilannya maka kantor ini memerlukan orang dari Angkatan Laut, sehingga lancar masuk kantor baru. Langsung tugas-tugas diberikan bertubi-tubi, hingga sering pulang larut malam, tapi senang juga sudah lama tidak dalam situasi seperti ini. Banyak tantangan dengan variasi spektrum tugas yang komplek, salah satunya adalah mengurus batas maritim negara kita. Saat itu, masalah Blok Ambalat di Laut Sulawesi meletup menggegerkan negara (karena trauma pasca Sipadan-Ligitan). Perundingan demi perundingan saya ikuti, inti tugas saya adalah mengawal, berpendapat, meneliti, dan yang mengesankan adalah belajar bagaimana berunding dan mengisi perundingan tersebut. Selanjutnya perundingan-perundingan batas maritim dilakukan secara rutin dan terprogram dengan negara-negara Filipina untuk Laut Sulawesi, dan Singapura untuk Selat Singapura, disamping tentunya dengan Malaysia. Jadilah saya berkecimpung dalam urusan perbatasan maritim bagi tanah air tercinta, mungkin ini akan kami ‘geluti hingga saat pensiun saya nanti, Insya Allah.
Penutup
Demikian sekelumit kisah perjalanan hidup saya, yang dirangkum sebagai suatu riwayat hidup, yang mungkin berguna bagi generasi geodesi UGM mendatang. Pelajaran untuk para yunior Geodesi UGM adalah, pantang putus asa dalam menghadapi problem-problem selama perkuliahan, perbanyak teman dan membina jaringan pertemanan yang tidak hanya lokalan saja, tetapi juga regional dan global (makanya bahasa Inggris dan yang lainnya itu perlu lho). nantinya akan berbuah saat telah menjadi seorang sarjana dan bekerja. Hormat pada yang tua serta tidak meremehkan yang muda adalah suatu prinsip pergaulan yang patut diadopsi untuk hidup sehari-hari, sebagai suatu perilaku sopan santun berkehidupan.
Bila nanti tiba saatnya bekerja, bagi bangsa, negara, agama dan keluarga, maka jadilah manusia yang dua langkah di depan teman-teman seangkatannya, melalul langkahi belajar dan menambah ilmu, serta langkah membiasakan budaya tulis menulis hasil karya dan pengalaman keilmuan yang dirilis melalui journal-journal akademis, media cetak dan penerbitan, sehingga melalui langkah-langkah tersebut akan lebih dikenal banyak orang termasuk pimpinan tempat bekerja maupun kolega sesama profesi dan di luar profesi Geodesi.
Semoga tulisan yang tidak berarti ini, bisa menambah pengetahuan bagi generasi muda Geodesi UGM dalam menapaki kehidupannya yang masih panjang ke depan. Dan, dengan semangat 50 tahun kehadiran Geodesi UGM di tanah air tercinta ini, kita isi kemerdekaan Indonesia ini, melalui pengabdian profesi Geodesi untuk kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia.
——————————–
Ir. Iswinardi, alumni Teknik Geodesi UGM angkatan 1974 (nomor alumni: 117). Pernah bekerja di Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanahan RI Direktorat Wilayah Pertahanan, Ditjen Strategi Pertahanan, Departemen Pertahanan RI, Jakarta.
——————————–
Catatan: Tulisan ini dikutip dari buku Refleksi Inspiratif Pemetaan Jejak Perjalanan Alumni Teknik Geodesi UGM pada rangkaian Peringatan Setengah Abad Teknik Geodesi FT UGM, yang diterbitkan pada 28 Mei 2009.
——————————–