Tidak terasa sejak menyelesaikan kuliah di Jurusan Teknik Geodesi UGM tahun 1995 berarti sudah hampir 13 tahun saya menjadi alumni Geodesi UGM. Sekilas, banyak perbedaan yang saya lihat pada pendidikan di Jurusan Teknik Geodesi saat ini dengan yang saya alami pada waktu masuk di jurusan ini tahun 1990 lalu. Perbedaan yang nampak tentunya adalah sarana dan prasarana perkuliahan, proses perkuliahan, mata kuliah dan jenjang pendidikan yang saat ini telah membuka program Strata 2.
Ketika pertama kali saya mengikuti perkuliahan di Jurusan Geodesi, saat itu masih menggunakan bangunan lama Fakultas Teknik komplek Sekip bersama-sama dengan Jurusan Teknik Nuklir. Ketersediaan dosen serta sarana dan prasarana yang ada masih terbatas. Saat itu di awal tahun 90-an, perkembangan teknologi juga masih mengalami stagnasi khususnya teknologi informatika atau telematika yang sangat membantu dalam pengembangan ilmu kebumian, sehingga proses perkuliahan dirasakan sangat membosankan. Selain itu peralatan survey yang sudah kuno dan pemanfaatannya yang tidak optimal agak menyulitkan percepatan pemahaman terhadap bidang keilmuan geodesi terutama aplikasinya. Pada sisi lain proses belajar mengajar khususnya di Jurusan Geodesi dan di UGM pada umumnya terlihat masih menggunakan pendekatan yang lama atau belum modern atau dalam istilah saya sendiri adalah pendekatan “kolonial” dalam arti belum mengadopsi cara belajar mengajar yang menumbuhkembangkan cara berpikir dan bersikap intelektual. Contoh nyata adalah sikap asisten dosen yang dalam memberikan asistensi seringkali bersikap arogan bukan membimbing dalam arti sebenarnya. Sikap dosen pun seringkali juga demikian walaupun tidak semuanya. Hal ini jauh dari nilai-nilai luhur yang seharusnya bisa diajarkan dalam konsep hubungan guru-murid seperti halnya Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Namun lambat laun saya rasakan hal tersebut mulai berubah ke arah yang lebih baik.
Dengan proses yang demikian, saya rasakan untuk menimba ilmu di Jurusan Geodesi khususnya dan di UGM pada umumnya tidak hanya perlu berbekal kepandaian otak fisik semata, namun perlu dibarengi atau diiringi dengan doa dan ikhtiar batin (spiritual) yang baik agar dapat melalui proses perkuliahan dengan baik dan “selamat”. Saya katakan “selamat” atau dalam terminologi Jawa “slamet” karena sebagai contoh bisa jadi walaupun kita dapat memahami suatu mata kuliah dengan baik, memenuhi jadual absensi perkuliahan, mengerjakan tugas dengan baik dan dapat mengerjakan soal ujian dengan baik belum tentu nilai hasil akhirnya sesuai. Namun di sisi lain hal tersebut ada hikmah dan manfaatnya juga karena justru memperkaya pemahaman atau pemaknaan hidup yang nantinya sangat bermanfaat dalam meniti karier di dunia nyata. Pemaknaan hidup yang memperkaya bathin akan lebih mendewasakan dalarn proses berkehidupan sesorang, dimana hal ini jarang ditemui dalam proses belajar mengajar dalam perkuliahan dan tidak selalu berjalan seiring atau linier dengan jenjang pendidikan yang diraih. Beruntung sewaktu menyelesaikan skripsi, saya dapat memilih Ibu Christine sebagai pembimbing. Pilihan ini memang sudah direncanakan mengingat saya memang “jatuh hati” dengan bidang keilmuan inderaja dan sosok seorang ibu. Ternyata pilihan ini tidak salah, Ibu Christine banyak membantu dan mendorong penyelesaian skripsi sehingga kuliah dapat diselesaikan dengan tepat waktu dan dengan hasil yang baik.
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, dengan kondisi seperti di atas saya akhirnya dapat menyelesaikan kuliah tepat 5 tahun pada tahun 1995 dengan predikat memuaskan. Pada tahun ajaran berikutnya, tahun 1996, saya berhasil lulus ujian test potensi akademik (TPA) OTO-Bappenas dan seleksi administratif UGM sehingga memperoleh beasiswa kuliah Strata 2 (S2) dalam negeri dari Bank Dunia URGE Batch III pada Program Studi Penginderaan Jauh/Inderaja-UGM.
Perkuliahan pada Program S2 Studi Inderaja UGM, bekal ilmu Geodesi sangat membantu sehingga saya dapat menyelesaikan kuliah dengan predikat sangat memuaskan pada waktunya. Setelah lulus pada tahun 1999, langsung diterima bekerja di Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Karena berlatar belakang ilmu kebumian (geoscience) maka saya ditempatkan pada Biro Pertambangan, Energi dan Tenaga Listrik.
Bekerja di Bappenas sangat menarik dan banyak tantangannya. Paradigma bahwa pegawai negeri tidak bekerja optimal dan hanya duduk-duduk semata tidak berlaku di Bappenas. Banyak sekali isu dan permasalahan nasional dan global yang harus diselesaikan dan diakomodasikan. Selain itu permasalahan dan tantangan saat itu sangat berat karena Indonesia sedang mengalami masa pasca krisis finansial tahun 1998 yang berlanjut dengan krisis ekonomi dan perubahan kondisi politik nasional. Pasca 1998 tersebut kondisi politik nasional masih dalam masa penyesuaian sehingga berdampak pada perencanaan pembangunan nasional. Hal ini juga berpengaruh pada bidang energi dan ketenagalistrikan yang memerlukan reformasi dan restrukturisasi sektor energi.
Dengan latar belakang ilmu kebumian khususnya geodesi ternyata cukup membantu dalam melaksanakan tugas, mengikuti perkembangan sektor energi dan ketenagalistrikan serta memahami kebijakan yang harus dijalankan atau diputuskan. Beberapa program pembangunan dan kegiatan proyek memang memerlukan pengetahuan ilmu kebumian. Sebagai contoh untuk pengembangan pembangkit listrik, transmisi, dan pengembangan energi pedesaan. Pada sisi lain penguasaan pengetahuan manajerial saat ini sangat penting untuk mendukung pengambilan keputusan seperti manajemen keuangan dan strategis, ekonomi perencanaan serta hubungan masyarakat dan internasional. Oleh karena itu sampai sekarangpun saya terus dituntut untuk belajar berbagai ilmu pengetahuan guna menunjang pekerjaan. Beruntung pula bahwa saat ini dalam menjalankan tugas banyak dibantu oleh alumnus UGM khususnya teman-teman alumni Geodesi 1990. Pengetahuan dan pengalaman menarik yang bisa diambil sebagai benang merah salah satunya adalah bagaimana dalam perjalanan hidup dan karier harus selalu mengembangkan pengetahuan dan kemampuan lahir dan bathin menuju pemahaman akan makna hidup sebenarnya.
Terakhir bahwa sekelumit kisah yang saya tuliskan disini hanya sebagai bahan sumbangan cerita kisah-kisah perjalanan alumni Geodesi UGM secara umum yang tidak ada maksud dan tujuan apapun selain hanya bahan cerita semata. Jadi jika ada tulisan yang tidak berkenan dan menyinggung pihak-pihak tertentu, saya pribadi sebelumnya mohon maaf sebesar-besarnya. Harapan saya semoga dengan usia yang sudah 50 Tahun ini, Jurusan Teknik Geodesi UGM semakin maju dan mantap dalam proses transfer-knowledge serta mampu mendidik lulusan yang memiliki kemampuan sesuai bidang keahliannya. Selain itu dapat membekali para lulusannya dengan kemampuan leadership dan memiliki integritas yang baik, yang saat ini sangat dibutuhkan oleh bangsa dan negara guna membangun dan membangkitkan Indonesia dari keterpurukan.
——————————–
Adianto Haryoko, ST, M.Si alumni Teknik Geodesi UGM angkatan 1990 (nomor alumni: 829). Pernah menjabat sebagai Kepala Sub Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Energi, Direktorat Energi, Telekomunikasi dan Informatika.
——————————–
Catatan: Tulisan ini dikutip dari buku Refleksi Inspiratif Pemetaan Jejak Perjalanan Alumni Teknik Geodesi UGM pada rangkaian Peringatan Setengah Abad Teknik Geodesi FT UGM, yang diterbitkan pada 28 Mei 2009.
——————————–