Pertanyaan “Geodesi itu mempelajari apa sih?” masih sering saya jumpai sampai saat ini. Orang yang sudah ‘makan sekolah’ akan bertanya lebih jauh, “Apa bedanya dengan Geologi dan Geografi?”. Maka, sebagai alumnus Geodesi, saya tak bosan-bosannya menjelaskan apa bidang kerja orang Geodesi, apa bedanya dengan orang Geologi dan Geografi. Begitupun, setelah mengetahui bahwa kerja orang Geodesi adalah membuat peta, sebagian orang masih saja kurang paham. “Peta itu gunanya untuk apa?” adalah pertanyaan berikutnya. Waduh, kalau ketemu pertanyaan seperti ini, ya sabar-sabarlah
Sering sekali orang mengelirukan saya sebagai alumni Geologi. Rupanya, kata geologi’ lebih dikenal orang daripada ‘geodesi’. Bisa dimaklumi, sebab kata geologi sudah dikenal anak sekolah sejak duduk di bangku SMP (atau mungkin malah SD). Sedangkan geodesi, sampai seseorang lulus S1 pun belum tentu pernah mendengar kosa kata itu. Ketidakpopuleran ilmu Geodesi mungkin karena jurusan Teknik Geodesi hanya ada di beberapa perguruan tinggi, serta jarangnya ditemukan tulisan-tulisan ilmiah populer di mass media yang berkaitan dengan bidang Geodesi. Padahal sesungguhnya cukup banyak masalah yang berkaitan dengan kepentingan negara maupun kepentingan masyarakat yang menjadi ‘urusan’ orang Geodesi.
Saya lulus pada bulan November 1986. Setahun kemudian, pada pertengahan tahun 1987, Pak Drajad Suharjo yang pada waktu itu sudah menjadi dosen di Ull menghubungi saya, mengatakan bahwa Ull akan membuka jurusan Geodesi, dan beliau menawari saya untuk menjadi dosen disana. Saya langsung tertarik, karena sejak awal saya memang ingin menjadi dosen, dan masa vacum selama hampir satu tahun rasanya sudah cukup. Maka saya pun mendaftar ke Ull, mengikuti serangkaian test, dan akhirnya diterima bersama dua orang alumni Geodesi yang lain, yaitu Aris Riyanto (angkatan 1980) dan Widodo (angkatan 1977). Aris kemudian keluar dan pindah ke Bapeda DIY, sedangkan Pak Widodo ‘pindah jalur ke bidang Teknik Lingkungan, mengikuti jejak Pak Drajad Suharjo. Kedua beliau ini sekarang sudah menyandang gelar doktor di bidang Lingkungan, Pak Drajad menempuh S3 di UGM sedangkan Pak Widodo memperolehnya dari Universitas Karlsruche Jerman.
Rencana Ull membuka jurusan Geodesi rupanya ‘ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan’. Maka saya, yang dititipkan sementara’ di jurusan Teknik Sipil, berubah jadi titipan permanen. Mau keluar dari Ull agak berat juga, karena saya sudah terlanjur kerasan dengan lingkungan dan dinamika kerja disana. Pikir punya pikir, akhirnya saya memutuskan untuk ‘putar haluan’ ke bidang Teknik Sipil, agar bisa lebih berkembang. Maka pada tahun 1991 saya mengambil S1 lagi di jurusan Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Saya tidak bisa langsung mengambil S2 jurusan Teknik Sipil, karena basic ilmunya belum punya. Untungnya ada beberapa mata kuliah umum yang tidak perlu saya ambil kembali, jumlahnya sekitar 36 SKS, sehingga cukup mengurangi beban kuliah di Teknik Sipil. Begitulah, semenjak Itu saya lebih konsentrasi di bidang Teknik Sipil.
Sampai saat ini saya masih diminta mengajar Pemetaan di Teknik Sipil Ull. Ketika pertama mengajar pada tahun 1988, mata kuliah ini bernama Ilmu Ukur Tanah I dan Ilmu Ukur Tanah II, yang diberikan dalam dua semester. Praktikum dilaksanakan 3 kali, yaitu pengenalan Theodolit dan poligon sederhana, Waterpassing, dan Poligon dengan kontur dan hitungan volume. Praktikum dilaksanakan terpisah dari perkuliahan, sehingga bisa jadi seorang mahasiswa sudah lulus mata kuliah tapi belum praktikum. Sekarang mata kuliah Pemetaan hanya diberikan selama satu semester, dan praktikum menjadi bagian terpadu dengan perkuliahan. Jika mahasiswa tidak mengikuti praktikum, maka ia tidak bisa memperoleh nilai mata kuliah Pemetaan.
Pemadatan mata kuliah Pemetaan menjadi hanya satu semester dengan nilai SKS 3, dan praktikum include di dalamnya, membuat beban mahasiswa cukup berat. Saya pun cukup pusing bagaimana caranya mengemas perkuliahan agar semua bahan bisa tersampaikan. Padahal targetnya mahasiswa harus bisa melakukan pengukuran waterpassing, membuat peta situasi, serta menghitung volume galian dan timbunan. Apa boleh buat, karena saya berada di jurusan Teknik Sipil, maka mata kuliah Pemetaan dimasukkan ke dalam kelompok mata kuliah penunjang, bukan mata kuliah inti.
Kini, perkembangan peralatan di bidang pemetaan sudah sangat pesat. Peta permukaan bumi sudah bisa diperoleh dengan mudah melalui berbagai situs web. Melalui Google Earth, saya bahkan bisa menemukan peta rumah saya dalam skala besar, kelihatan sampai ke bentuk atap rumah dan bangunan lain. Saya, karena tidak lagi mendalami bidang Geodesi, merasa sudah sangat jauh ketinggalan dalam perkembangan terbaru yang ada. Semoga perkembangan teknologi di bidang hardware dan software akan membuat ilmu Geodesi semakin berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.
——————————–
Ir Tuti Sumarningsih, alumni Teknik Geodesi UGM angkatan 1979 (nomor alumni: 282). Pernah bekerja menjadi Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
——————————–
Catatan: Tulisan ini dikutip dari buku Refleksi Inspiratif Pemetaan Jejak Perjalanan Alumni Teknik Geodesi UGM pada rangkaian Peringatan Setengah Abad Teknik Geodesi FT UGM, yang diterbitkan pada 28 Mei 2009.
——————————–