“Hei…siapa kamu! keluar kamu! tolooooonggg!….tolooooooongg! ada maliiiiiiiingg! ada maliiiiing!” aku berteriak sekencang-kencangnya yang membuat laki-laki itu mundur beberapa langkah.

Laki-laki itu terlihat bingung, namun dia kembali mendekat ke arahku. Tanpa pikir panjang aku langsung menendangnya sehingga tubuh kurus itu terpental ke belakang. Insting karena merasa terancam dan ingin menyelamatkan diri memberiku kekuatan untuk menendang dan berteriak. Dalam kegelapan aku melihat laki-laki itu masih bingung. Akhirnya teriakanku membuatnya berfikir cepat untuk menyelamatkan diri sebelum seisi kost terbangun. Laki-laki itu kabur melalui pintu samping kost tanpa meninggalkan jejak apapun. Aku masih terus berteriak sehingga Mas Bram dan teman-teman yang lain terbangun dan dalam sekejab mereka sudah berkumpul di depan kamarku.

“Ada yang hilang gak Nov?” tanya Mas Bram khawatir sembari masuk kamarku dan menghidupkan lampu.
“Aneh, gak ada Mas,” jawabku setelah memeriksa isi dompet, komputer dll. Tidak ada satupun barangku yang hilang.
“Looooh…ini kok kasurmu banyak pasir gini?” Mas Bram terkejut sambil memegang seprei tempat tidurku dan memungut pasir-pasir tersebut.

“Nov, ini juga ada di depan kamarku, dan di teras ini semua juga banyak pasir lho,” seru Uke seraya menunjuk ke teras yang memang penuh pasir berserakan.
“Loh? kok bisa? apa maksudnya ini Mas?” tanyaku kepada Mas Bram, aku masih bingung dan shock dengan kejadian yang baru aku alami tersebut.

“Kamu kena sirep, kalian semua kena sirep,” ujar mas Bram yakin.
“Sirep itu apa Mas? aku gak paham, baru kali ini aku mendengarnya,” aku mengangkat bahu sembari menatap Mas Bram, meminta penjelasan.

“Sirep itu ilmu supaya korbannya mengantuk dan tertidur pulas, medianya berupa pasir,” jelas Mas Bram.

“Ini pasir sengaja disebar di teras dan kasur kamu Nov, kamu udah diincar,” ujar Uke sambil bergidik, membuat bulu romaku berdiri. Tidak lama kemudian terdengar suara ramai di luar tembok kost. Pintu belakang yang digunakan pelaku untuk kabur ternyata masih terbuka. Terlihat beberepa orang laki-laki berdiri di luar. Ternyata mereka petugas ronda yang berjaga malam.

“Bagaimana kejadiannya Mas?” salah satu lelaki yang berdiri di depan pagar bertanya, dan aku lihat Mas Bram menjelaskan dengan rinci. Para pemuda ronda tersebut mendengarkan sembari mengangguk-angguk.
“Nov, nanti mereka akan selidiki siapa pelakunya. Tadi aku sudah jelaskan ciri-cirinya,” kata Mas Bram bersemangat, mungkin bermaksud menghiburku.

Namun feelingku mengatakan pelakunya adalah laki-laki teman Mas Bram yang suka bermain gitar di ruang tengah. Ciri-ciri fisiknya sama. Dan secara logika bagaimana dia punya akses masuk ke kost jika dia tidak tahu situasi di dalam kos? pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan dan alibi-alibi. Namun aku hanya bisa terdiam. Lidahku tak mampu mengucap kata dan menyampaikan alibi itu kepada Mas Bram. Kamar yang demikian gelap membuat wajah si pelaku tidak jelas terlihat.

Hari-hari selanjutnya aku masih dihantui perasaan trauma, itu terjadi jika aku sedang keluar kost sendirian. Aku selalu merasa ada sosok kurus dan berambut gondrong mengikuti di belakang. Aku menjadi paranoid akibat kejadian malam itu. Selang seminggu setelah kejadian itu Mas Bram mengatakan kepadaku bahwa pemuda ronda belum berhasil menemukan pelaku dengan ciri-ciri fisik yang sudah dijelaskan Mas Bram kepada mereka. Dan anehnya juga, si laki-laki teman Mas Bram yang suka bermain gitar itu tidak pernah datang lagi mengunjungi Mas Bram. Sosok itu hilang seperti ditelan bumi. Firasatku mengatakan bahwa benar dialah pelakunya. Jika bukan dia, untuk apa dia menghindar? sepertinya dia ketakutan jika aku mengenali dia hingga dia memilih untuk menghindar.

Dalam hati aku berdoa semoga laki-laki itu bertobat, tidak lagi mengulangi perbuatannya. Mungkin saat itu dia bisa lolos dari rasa malu dan jerat hukum karena ketahuan mempraktekan ilmu sirep untuk melakukan pelecehan terhadapku. Namun alangkah malangnya jika ada lagi Novi-Novi yang lain dan berhasil menjadi korban atas aksi tidak terpujinya itu. Aku bisa lolos dari aksi keji tersebut karena aku merasa Allah menjagaku.

Sungguh aku tidak mengada-ada. Dalam mimpi aku bertemu seorang wanita cantik berambut pendek. Usia dan tinggi badannya sepantaran denganku. Wanita itu memelukku dan berkata “Novi, jangan kuatir…..aku akan melindungi kamu.” Aku hanya terdiam, belum sempat terucap kata tiba-tiba aku melihat kepala wanita itu meleleh dan keluar cairan berwarna kuning. Aku langsung mengucap “Astagfirullah Al Aziim.” Lalu tiba-tiba aku terbangun karena merasa ada seseorang yang menamparku. Dan betapa terkejutnya aku ketika ada laki-laki asing yang masuk kamarku dan membelai-belai kedua kakiku. Untunglah saat itu aku punya kekuatan untuk membela diri dengan menendang dan berteriak sehingga laki-laki asing tersebut gagal melancarkan aksinya. Mungkin dia terkejut kenapa ilmu sirepnya tidak mempan untuk membuatku tertidur tanpa terbangun ketika dia melancarkan aksinya. Apapun itu aku bersyukur atas kebesaran Allah. Aku dijagaNya karena malam sebelum tertidur pulas itu aku menyempatkan untuk mengaji beberapa ayat dan tanpa sadar alquran masih tergeletak di samping bantalku. Aku juga berterima kasih kepada kedua orang tuaku yang selalu mendoakan keselamatanku hingga malam itu aku selamat dari rencana keji laki-laki asing itu.

Di masa depan, jika anak-anakku ditakdirkan untuk kuliah jauh dariku dan harus kost di dekat kampusnya, mau tak mau aku harus ikhlas. Sebagai orang tua hanya doa yang bisa aku panjatkan, semoga Allah selalu menjaga putra-putriku dimana pun mereka berada.
💮💮💮

NB :
Kisah ini ada di antologi memoar Miracle of Life yang akan diterbitkan oleh Penerbit Diomedia

……………………….

Di karya-karya sebelumnya menggunakan nama pena Clara Vee, namun selanjutnya penulis memutuskan untuk menggunakan nama asli pemberian dari orang tua saja yaitu Novi Febrianti. Penulis lahir di Payakumbuh, 28 Februari 1980. Penulis melewati masa-masa kecil hingga SMA di kota kelahiran. Sedangkan masa-masa kuliah dilalui di Kota Yogyakarta di Jurusan Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada angkatan 1998. Saat ini penulis tinggal di Kota Depok bersama keluarga tercinta. Menikmati hari dengan menulis memoar, membuat kerajinan tangan macrame dan sulam, menonton film, mengurus kucing, dan mengurus tanaman adalah hobi yang membahagiakan bagi penulis. Intip keseharian penulis di: IG: febrienov dan FB : Novi Febrianti.

2 Comments

  • Menarik memoarnya.. kita sebagai orang tua memang perlu membentengi anak2 dengan keyakian agama yang kuat, nasehat tentang pergaulan dan kemandirian agar anak yang jauh dari orang tua sukses menjalankan studinya. SALAM

  • Setuju mas👍

Comment

Tulisan Lainnya

Laki-laki Asing yang Masuk Kamarku (1)

30.08

Sore yang muram, mendung membungkus kota. Aku terpaku di bangku teras, memandang awan kelabu

  • No React!