Sore yang muram, mendung membungkus kota. Aku terpaku di bangku teras, memandang awan kelabu yang mulai menumpahkan tetes-tetes airnya. Semakin lama semakin deras membasasi genteng, jalanan, pepohonan dan semua yang ada di sekitarnya. Sejenak aku teringat akan obrolanku dengan anak-anakku beberapa hari yang lalu.

Rafandra anak pertamaku sudah kelas 11, dan Clarinta anak keduaku sudah kelas 7. Malam itu mereka bersemangat menceritakan impian mereka. Rafandra ingin kuliah di ITB, dia ingin menjadi Engineer. Lain halnya dengan Clarinta, dia ingin menjadi Dokter. Dua anakku itu ingin hidup mandiri selepas SMA. Ya, mereka ingin merasakan menjadi anak kost saat kuliah nanti.

Malam itu pikiranku berkecamuk, aku senang karena anak-anakku sudah serius merencanakan masa depannya, namun ada rasa takut yang menggelayut. Selama ini aku selalu memberikan motivasi kepada mereka supaya berjuang untuk bisa diterima di PTN di Jakarta dan Depok saja, itu supaya mereka tidak perlu kost dan jauh-jauh dariku. Mungkin aku termasuk ibu yang kolot, aku takut anak-anak terjebak dalam pergaulan bebas, miras, narkoba dsb. Aku dan suamiku paham sekali dengan kehidupan anak kost, karena kami berdua pernah kost di Yogyakarta dulu. Selain itu ketakutan dan trauma saat aku kost dulu terus menghantuiku seiring dengan semakin dekatnya waktu untuk putra putriku memasuki bangku kuliah.

“Kenapa sih Bunda maunya kami kuliah di UI?” tanya Clarinta.
“Itu karena Ayah dan Bunda gak mau kalian kost, UI kan dekat dari rumah kita. Jadi bunda maunya kalian berjuang supaya lulus masuk UI” jawabku beralasan.

“Tapi abang ingin merasakan jadi anak kost, ingin merasakan hidup mandiri. Jadi abang ingin kuliah jauh di luar kota, jangan di seputaran Jakarta dan Depok lagi Bun,” pungkas Rafandra. Anak sulungku itu ingin kuliah di ITB atau ITS. Dia memang ingin menjadi seorang Engineer.

“Abang…. Kakak…., Bunda tahu persis kehidupan anak kost. Jika kalian tidak kuat iman bisa terjebak di pergaulan bebas dan hal negatif lainnya. Terutama untuk Clarinta, Bunda khawatir suatu saat kejadian yang pernah bunda alami dulu terulang lagi ke kamu,” jelasku. Dan aku melihat anak-anakku cuma terdiam dengan wajah cemberut.

Tepatnya 20 tahun yang lalu, aku tidak akan pernah melupakan kejadian itu. Suatu malam yang hampir merubah takdir hidupku menjadi tragis. Aku hampir kehilangan kehormatanku akibat ulah seorang laki-laki asing yang masuk ke kamarku dan membuat seisi kost mendadak mengantuk sehingga lupa mengunci pintu dan jendela. Menurut Mas Bram (Penjaga Kost Pondok Amanah) pelaku menggunakan ilmu sirep, yaitu pasir yang sudah dimantrai dan ditaburkan ke teras dan sekitar calon korbannya. Tujuannya tak lain agar si calon korban mengantuk sehingga pelaku bebas untuk berbuat keji terhadap korbannya.

Entah bagaimana caranya laki-laki asing itu berhasil masuk ke dalam Kost Pondok Amanah, dan mengetahui situasi anak-anak kost yang menempati paviliun belakang yang berbentuk letter L itu. Aku mencurigai laki-laki itu adalah seseorang yang kenal dengan Mas Bram karena aku sempat mengenali ciri-cirinya mirip dengan teman Mas Bram yang suka nongkrong di ruang tengah rumah induk sembari bermain gitar beberapa hari sebelum kejadian. Tapi aku tidak berani menuduh tanpa memiliki bukti, karena alibi saja tidaklah cukup.

Peristiwa itu terjadi sekitar pertengahan tahun 2002, aku lupa tepatnya bulan apa. Yang aku ingat seminggu sebelum kejadian kost dalam keadaan sepi. Hanya aku satu-satunya yang menghuni paviliun belakang yang terdiri dari 5 kamar kost, dan ada pohon mangga besar di halaman depannya. Semua teman kost pulang kampung karena waktu itu bertepatan dengan libur semester. Jujur saja aku sedikit takut. Namun aku berusaha untuk terus berfikir positif dan tidak merasa kesepian. Aku berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran negatif akan diganggu oleh jin dan sebagainya. Setiap malam aku usahakan untuk mengaji selepas salat magrib dan isya supaya hati dan pikiranku merasa tenang.

Aku tetap menjalani aktifitasku seperti biasa setiap harinya. Aku masih aktif ke kampus untuk mengambil Semester Pendek. Aku masih sering mampir sepulang kuliah di kost Yemima, sahabatku di kampus. Aku pulang ke kost sore hari ketika tugas-tugas kuliah yang aku kerjakan bersama Yemima telah selesai. Sendirian di kost sedikit membuatku tidak nyaman. Beberapa kali aku memergoki lali-laki gondrong yang suka bermain gitar di ruang tengah melirik-lirik ke paviliun belakang. Namun pikiran-pikiran negatif tentangnya berhasil aku tepis. Aku tidak ingin membebani pikiranku akan bayangan-bayangan kejadian mengerikan saat teman-teman yang lain pulang kampung.

Sebenarnya bukan suatu yang aneh jika rumah ibu kost kedatangan banyak tamu laki-laki. Mereka semua adalah teman-teman Mas Bram. Namun laki-laki berperawakan kecil, kurus, berambut gondrong dan pendiam itu terus berada di kost selama berhari-hari. Dia terus bermain gitar siang dan malam. Tak bisa aku pungkiri, suara gitar laki-laki tersebut cukup menghiburku, cukup menghidupkan suasana sehingga kost tidak terlalu sepi. Suasana horror amat terasa jika sedang sendirian. Apalagi pernah suatu hari temanku yang seorang indigo mengatakan jika di kost itu ada penghuninya.

Kejadian naas itu terjadi justru pada saat kost sudah mulai ramai. Entah pelaku menyadari atau tidak bahwa aku tidak lagi sendirian. Teman-teman yang tadinya pulang kampung sudah mulai berdatangan. Nurul dan Indah yang menempati kamar ujung sudah datang. Uke yang menempati kamar persis di sebelah ruang tamu juga sudah pulang dari Sidoarjo. Malam itu aku dan Uke sempat berbincang sembari menikmati kerupuk ikan yang lezat, oleh-oleh khas Kota Sidoarjo.

Pada pukul 21.00 tiba-tiba kami diserang kantuk. Aneh, di hari-hari biasa jam tidur kami selalu diatas pukul 23.00, bahkan kami kuat begadang hingga pagi. Tak kuat menahan kantuk, aku pun segera beranjak ke kamar. Sebelum membuka pintu kamar aku menoleh ke kamar Nurul dan Indah. Sepi, tidak seperti biasanya.

Di kamar aku tidak serta merta langsung tidur. Aku mengambil alquran dan menyempatkan mengaji beberapa ayat. Rutinitas mengajiku sehabis salat magrib menjadi tertunda karena aku begitu antusias dengan kedatangan Uke, sehingga aku betah berlama-lama di kamarnya sembari bercerita dan menikmati lezatnya kerupuk ikan khas Sidoarjo. Aku sungguh tidak ingat berapa lama aku mengaji dan berapa ayat yang sudah aku baca. Aku tertidur tanpa ingat apa-apa lagi.

Tiba-tiba sebuah tamparan keras di pipi sebelah kanan membangunkanku. Aku meringis dan langsung memegang pipi kanan, aku perkirakan saat itu sudah pukul 3.00 pagi. Bersamaan dengan itu aku melihat kilatan cahaya seperti petir, aneh padahal di luar tidak sedang hujan. Seketika aku tersadar bahwa lampu kamarku sudah mati. Kamarku gelap, aku hanya melihat temaram cahaya rembulan di luar kamar. Ternyata aku tertidur tanpa menutup jendela dan horden kamar. Tetapi yang lebih membuatku terkejut adalah seseorang sudah berada di dalam kamarku. Laki-laki berperawakan kecil, kurus dan berambut gondrong. Dia memakai baju putih garis-garis hitam dan celana pendek sepaha. Tangannya sedang membelai kedua kakiku. Sontak saja aku langsung berteriak meminta pertolongan.

(bersambung)

……………………….

Di karya-karya sebelumnya menggunakan nama pena Clara Vee, namun selanjutnya penulis memutuskan untuk menggunakan nama asli pemberian dari orang tua saja yaitu Novi Febrianti. Penulis lahir di Payakumbuh, 28 Februari 1980. Penulis melewati masa-masa kecil hingga SMA di kota kelahiran. Sedangkan masa-masa kuliah dilalui di Kota Yogyakarta di Jurusan Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada angkatan 1998. Saat ini penulis tinggal di Kota Depok bersama keluarga tercinta. Menikmati hari dengan menulis memoar, membuat kerajinan tangan macrame dan sulam, menonton film, mengurus kucing, dan mengurus tanaman adalah hobi yang membahagiakan bagi penulis. Intip keseharian penulis di: IG: febrienov dan FB : Novi Febrianti.

Comment

Tulisan Lainnya

Laki-laki Asing yang Masuk Kamarku (2)

30.08

“Hei…siapa kamu! keluar kamu! tolooooonggg!….tolooooooongg! ada maliiiiiiiingg! ada maliiiiing!” aku berteriak sekencang-kencangnya yang membuat

  • No React!