Harmen Batubara, Tono Saksono, Bambang Yuwono (alm), Moh.Singgih dll., adalah mahasiswa Geodesi angkatan 73 yang bersama “gengnya menerbitkan Geodeta, majalah Geosains popular produk Ikatan Mahasiswa Geodesi UGM pertama pada zamannya. Meski sederhana, dengan lay out dan artistik seadanya, kehadiran Geodeta pada zaman itu begitu terasa manfaatnya dalam mengangkat eksistensi profesi geodet.

Tatkala Sdr. Tono meneruskan kuliahnya ke Inggris kemudian ke Amerika, dan Sdr. Singgih berkiprah di gelanggang perGeodesian nasional, Bogor, Jakarta dan Bandung. Harmen Batubara malah masuk tentara, tepatnya di Direktorat Topografi Angkatan Darat.

Pilihan pada waktu itu terbuka lebar, boleh dikatakan semua departemen menerima lulusan Geodesi, malah untuk lingkungan swasta cukup angkat telepon, besoknya sudah bisa bekerja. Prof Hardjoso dan Prof Sunaryo (guru besar pengairan Teknik Sipil UGM) mengajak penulis agar tetap memegang Koordinator Topografi di “Laboratorium Tepat Guna P4S” yakni penelitian lahan pasang surut kerjasama antara UGM dan Departemen PU. Tetapi penulis malah memilih masuk TNI, kebetulan pula memang dipanggil. Pertimbangannya sederhana. Kalau di departemen, harus bersedia sebagai pegawai magang dengan honor 20% dari gaji normal, sementara di TNI gaji penuh dan ditambah uang lauk pauk, lagi pula pada waktu itu TNI sangat mewarnai semua sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi mereka yang senang, TNI adalah segalanya, ya teman, ya guru dan seterusnya.

Angkatan Darat lah yang memperkenalkan hidup sebagai seorang “juru ukur sejati”. Begitu masuk langsung dibekali pendidikan tentara, tiga bulan pertama dilatih sebagai prajurit berpangkat letnan yang dipersiapkan untuk mampu menjadi pimpinan setara Danton. Bulan-bulan berikutnya dipersiapkan sebagai juru ukur. Siang dan malam dilatih mendirikan, mengatur, dan mempergunakan alat ukur, mulai dari TO,T1,T2, T3, begitu juga dengan WP, mulai dari order tiga sampai order pertama. Dunianya olah fisik, olah rasa, dan olah karya. Boleh dikatakan 40% dari waktu yang ada dihabiskan dengan latihan di pusat-pusat pendidikan topografi (Bandung dan Solo, Australia dan Amerika, Direktorat Topografi memiliki kerjasama latihan dan pemetaan dengan kedua negara tersebut). 40% lagi melaksanakan tugas pengukuran di lapangan dan 20%nya bertugas di kantor. Pada waktu itu seorang prajurit harus mahir dan trampil mempergunakan alat, mulai dari pasang statif sampai siap ukur, hanya dalam praksi dibawah tiga menit, tanpa perlu melihat pada nivo sama sekali. Kemampuan seperti itu sungguh sangat menggembirakan. Rasa ‘pede’nya luar biasa.

Kalau infantri melatih prajuritnya agar mahir mengoperasikan senjatanya dalam berbagai pola gerakan, maka Direktorat Topografi mempersiapkan prajuritnya mampu melakukan simulasi pengukuran, dan pengamatan bintang hingga jadi replek, dalam hitungan di bawah tiga menit siap untuk operasi, dan mampu merekam posisi bintang di empat penjuru alam. Seorang observer bintang Topografi AD mampu menghapal tidak kurang dari delapan puluh bintang, berikut urutan waktu (menit, detik) dan azimuth yang menandakan sang juru ukur tahu persis bintang apa saja yang siap diamat sepanjang malam. Di penghujung tahun 80an teknologi satelit muncul. Doppler datang dan kemudian digantikan oleh GPS. Orang-orang Astronomi Geodesi Topografi AD di tranformasi menjadi pengawak teknologi GPS. Mereka dikirimkan ke Amerika, Australia dan Inggris. Prajurit Harmen, dan Bagus Mawantara (Geodesi 74) adalah dua personil yang ditempa untuk mengawaki teknologi baru tersebut.

Setelah lima tahun berlatih dan jadi juru ukur, barulah diberi kepercayaan untuk meminpin tim-tim pengukuran khusus sesuai kepentingan pertahanan, baik di lingkungan departemen sendiri, departemen lain, maupun BUMN, dan penegasan perbatasan, baik antar negara maupun antar daerah. Ketika TNI membeli senjata rudal untuk pengamarian obyek obyek vital nasional, prajurit Topografilah yang membuat peta stelling pengamanan objek tersebut, baik di Arun Aceh, Bontang Kaltim maupun di Malang. Begitu juga dengan operasi pemetaan bersama antara Topografi AD dengan Topografi Australia di Pulau Sumatera, Selat Malaka, Selat Makassar, ALKI I, ALKI II dan ALKI III, (ALKI Alur Laut Kepulauan Indonesia). Berbagai pekerjaan itu telah dengan sendirinya memperkenalkan Indonesia secara nyata.

Kenyataan memperlihatkan betapa vitalnya produk pekerjaan seorang juru ukur, meski setelah selesai, tidak ada yang mengingat mereka sama sekali. Pergilah ke gunung mana saja di Nusantara ini, pasti di sana ada tugu-tugu triangulasi, tugu astronomi dan itu adalah karya prajurit Topografi. Mereka mengukurnya bisa berbulan-bulan, padahal logistik dan bahkan air harus benar-benar di pikul sampai ke puncak. Para pendaki gunung sering mengklaim tim mereka yang pertama tiba di puncak, padahal kalau saja mereka melihat ke peta, pastilah melihat tugu Topografi ada di puncaknya. Para prajurit juru ukur itu sudah pernah di sana, malah makan minum berminggu-minggu lamanya.

Juru Ukur Sejati

Dalam budaya kita, sering kegembiraan dalam tugas disandingkan dengan materi yang didapat. Hal seperti itu sebenarnya ada benarnya juga, tetapi yang sering terlupakan adalah bahwa dalam hitungan materi, sebenarnya tidak ada kata puas. Berapapun materi yang kita miliki, kalau salah dalam pemahamannya maka tidak ada kata cukup. Memang di situlah letak permasalahannya. Setiap orang mempunyai definisinya masing-masing. Begitu pula dengan pakem tentang kehidupan. Ada orang yang meyakini bahwa suatu cetak biru seseorang sebenarnya telah tertuang dalam suatu konsep yang disebut “cetak biru” takdir. Percaya bahwa “cetak biru” takdir adalah sesuatu yang sudah final; akan tetapi bagi sebagaian lainnya percaya bahwa konsep “cetak biru” takdir itu seperti sebuah “Surat Keputusan” yang pada alinea terahirnya ada kata-kata pengecualian, artinya “bilamana kelak ternyata ada satu dan lain hal, maka Surat Keputusan (Takdir) ini bisa ditinjau ulang kembali”. Dengan kata lain “cetak biru” takdir itu bukanlah sesuatu keputusan yang final melainkan masih terdapat klausul yang memungkinkan untuk Peninjauan Kembali. Karena itu kehidupan sebenarnya penuh dengan rahmat, harapan dan dinamika serta kesemuanya itu terpulang kepada putusan Sang Halik.

Usaha maupun upaya seseorang untuk mengubahnya, termasuk perihal nasibnya adalah konsekwensinya sebagai seorang hamba. Tapi di ujung semuanya itu, cetak birunya sudah ada dan mengikat. Karena Tuhan itu Maha Adil, Maha Bijak dan Maha Kasih Sayang. Sehingga dari kesemua itu, masing-masing punya persyaratan keberhasilannya sendiri. sendiri, sesuai dengan hukum alam ditambah hukum Tuhan. Misalnya hemat adalah pangkal jadi kaya, tetapi bukan berarti dengan berhemat anda pasti kaya. Lihatlah ke sekelilingmu, ternyata Tuhan telah memilih hamba-hambanya dengan kebijakannya sendiri.

Ternyata modal pintar, pandai bergaul, bisa membawa diri dan dapat diandalkan bukanlah sebuah jaminan untuk jadi “Tokoh”. Karena banyak dari mereka yang jadi “orang” ternyata tidak mempunyai nilai tambah “yang sepadan”. Di sanalah adilnya Tuhan, Dia memilih hambarnya sesuai zaman yang dia ciptakan. Chin Ning Chu penulis the “Asian Mind Game”, mengutarakan bahwa segala sesuatunya itu sudah ada desainnya, menurut dia tidak ada yang terjadi di dunia ini secara kebetulan, bahkan sehelai daun yang jatuhpun harus terlebih dahulu punya izin dari sorga; sehingga seseorang haruslah melihat segala sesuatunya sesuai dengan kehendak Sang Halik. Lakoni hidup ini secara gagah berani, elegan dan pantang menyerah. Kalaupun ada evaluasi itu semata-mata hanya proses manajemen. Tapi yang benar adalah sepenuhnya berserah pada sang pemilik keputusan, sang pemilik kehidupan itu sendiri.

Hemat penulis, sangat perlu ditanamkan bagi seseorang yang akan menempuh kehidupan ini sebuah pemahaman tentang hidup, maupun budaya masyarakatnya, minimal untuk jadi semacam referensi. Kalau saya diperkenankan untuk menyampaikan sesuatu sebagai referensi, maka yang akan saya sampaikan adalah pilihlah bidang yang engkau senangi. Karena di dunia “sana” itu banyak sekali kejadian-kejadian, yang parameternya kita tidak tahu persis. Mohonlah petunjuk, mohon perkenan, mohon ridhoNya, agar diberi “kearifan” untuk memilih jalan yang sesuai. Karena semua jalan pada dasarnya bertabur emas dan permata. Hebatnya lagi kita tidak tahu, apakah rencana Tuhan itu sama dengan modal dasar kita. Ibarat proklamasi kemerdekaan. Maka perguruan, termasuk dalam hal ini perguruan tinggi juga hanyalah sekedar mengantarkan lulusannya ke “gerbang” kehidupan. Sementara kehidupan itu sendiri, bukanlah milik siapa-siapa kecuali sang pencipta.

Topografi AD juga demikian, direktorat ini sampai pangkat Mayor membekali prajuritnya dengan bekal kesegaran fisik, ketrampilan juru ukur sejati. Kemudian dilakukan seleksi kemampuan olah kepemimpinan, diberikan kesempatan test untuk Sekolah Komando dan Staf (semua prajurit dari semua korps diberi kesempatan yang sama) Angkatan. Inilah test yang benar-benar punya prestise tersendiri. Karena pendidikan berikutnya hanya sebagai penunjukan, sesuai dengan kebutuhan organisasi. Setiap prajurit diperkenankan untuk mencobanya sampai maksimal lima (5) kali (sampai usia 42 tahun). Penulis lulus test ini ada kesempatan pertama di tahun 1995. Selesai pendidikan kemudian diberi tugas melanjutkan penegasan batas RI-PNG Papua di sektor utara dari Wutung – Waris ± 80 km, selama delapan bulan. Seperti biasa, ciri khas penugasan prajurit Topografi-AD, mampu melakoni tugas dan kehidupan selama berbulan-bulan di tengah hutan belantara, tidak pernah bertemu orang lain. Logistik secara priodik dikirim lewat Heli, atau dipikul dengan tenaga manusia (dalam satu drop logistik dengan tenaga pikul lokal bisa mencapai jumlah ± 50 orang, selama empat hari jalan kaki, salah perhitungan bisa bekal dropping habis di tengah perjalanan).

Pengukuran perbatasan adalah pekerjaan yang sangat membahagiakan para juru ukur sejati. Bayangkan perbatasan RI-Malaysia dari Tanjung Datu (Kalbar)-Pulau Sebatik (Kaltim) di Kalimantan, panjangnya mencapai 2004 km. Pekerjaan tegas batas itu dilakukan sejak tahun 1975-2000, dibagi dalam dua tim besar. Begitu juga di perbatasan RI-PNG dengan panjang ± 780 km dari Wutung-MM14C di selatan Merauke. Tiap tahunnya mereka bertugas disana antara 7-9 bulan. Telapak kaki juru ukur Topografi benar-benar menapaki punggung gunung, ngarai, dan jeram di sepanjang ribuan kilometer itu. Untungnya wilayah perbatasan punya “pasak bumi”, sehingga setiap hari jamu itulah yang diminum para juru ukur. Boleh dikatakan nyamukpun tak mau menghisap darah mereka, karena bau dan rasanya yang khas pasak bumi. Dalam kehidupan seperti ini, keluarga di belakang sepenuhnya sudah dipercayakan dan dirawat oleh Detasemen Markas. Bagi prajurit di garis depan yang ada hanyalah tugas, lakukan yang terbaik dan berserah diri para Sang Halik. Juru ukur sejati harus pula terampil mempergunakan sinso (chain saw) dan kampak. Karena memang itulah olah raga yang tersedia di tengah hutan.

Ketika zaman pemotretan udara dengan teknik Kinematik belum ada, maka pekerjaan pemotretan udara adalah tantangan prajurit yang tidak kalah menariknya. Bisa dibayangkan, untuk satu kali operasi pemotretan udara skala 1: 50.000. untuk wilayah seluas 30 MLP (Model Lembar Peta, @ + 27.5 km²) dengan cakupan area bisa mencapai ± 900 km², maka diperlukan jumlah panel (bentuk salib, 20m x 1m dari bahan plastik putih) sekitar 50 panel dan pengukuran titik-titik GPS geodetik (pada waktu itu) sekitar 60 titik Ground Control. Disinilah menariknya, karena areanya biasanya hutan (kalau bukan hutan biasanya ditenderkan pada swasta) maka diperlukan transportasi satu atau dua Helikopter. Itu berarti prajurit harus dapat diturunkan di tengah hutan, mereka harus bisa refeling, bisa sinso dan membuat Helipad. Dinamikanya adalah demikian. Dalam satu hari ada sekitar 6-8 Regu (masing-masing 2 org) yang akan ditempatkan, dipindahkan atau diambil. Tugas masing-masing regu juga berbeda satu sama lain. Ada yang khusus membuat Helipad, ada pula yang khusus memasang tugu dan panel, ada juga tim ukur GPS-Trimble dan kemudian pemasang Brascap (tanda dan nomor tugu). Tiap titik harus didatangi oleh empat regu. Ternyata dinamikanya di lapangan sungguh mengasyikkan. Karena boleh dikatakan semua pergerakan harus selesai dilakukan dalam perhitungan detik, atau menit.

Barang bawaan regu Heliped selain bekal selama lima hari, juga dua sinso, bensin dan kampak. Merekalah yang didrop pertama kali. Heli akan membawa mereka ke target hover (diam di udara) maksimal 8 menit, kedua orang itu sudah harus refeling dan tit of dat Apapun yang terjadi pada saat itu, heli pasti bergerak untuk tugas berikutnya. Malangny ternyata pada saat refeling ada yang celaka. Kalau itu terjadi maka kemungkinan sty dua. Kemungkinan pertama, yang satu meneruskan pembuatan Helipad sambil monswat yang sakit. Kemungkinan kedua, kalau lukanya berat biasanya harus diturunkan dokter untuk merawatnya. Kalau ternyata dokternya belum pernah refeling, tidak ada pilihan, sang dokter diturunkan layaknya beras dalam karung. Orangnya diikat dan dikerek hingga sampai tanah, kalau nyangkut di pohon, ya lain lagi ceritanya. Sang dokter harus ikut membantu menyinso untuk membuat Helipad, karena tanpa Helipad tidak mungkin lagi mereka ditarik.

Pada waktu itu Topografi beruntung. Penerb-AD mempunyai skuadron Hallawuet buatan Perancis tahun 1962 an, yang tidak dioperasikan lagi karena tidak punya dana pemeliharaan Topografi dengan dana pemetaannya kemudian meminta AD untuk mengaktifkan skuadron tersebut. Seluruhnya ada 8 Heli. Bagi Penerbad berarti ada kesempatan melatih para pilot dan mekaniknya, dan bagi Topografi bermakna ada transportasi Heli yang dikendalikan sendiri. Dalam pengabdiannya skuadron itu telah membantu Topografi selama sepuluh tahun (1989-1998), baik di daerah rawan seperti Papua, dan Aceh (waktu itu) maupun daerah surga seperti Kalimantan, Sulawesi, Kep Natuna dll. Meskipun selama pengabdian itu ada 4 Heli yang jatuh, dan 18 jiwa yang jadi korbannya.

Sebuah Korps atau kesatuan akan memberikan pembekalan dan kesempatan pada prajuritnya sampai pangkat Kolonel, setelah itu dan karena formasi untuk pimpinan Korps hanya satu bintang, maka biasanya prajurit tersebut akan diberikan kesempatan untuk mencoba menambah pengabdiannya di tempat lain, bisa ke Mabes TNI, Mabes AD atau ke Dephan atau kemana saja sesuai dinamika yang ada. Secara adat, setelah prajuritnya mencapai pangkat kolonel, maka selesailah sudah tugasnya mengkader, selanjutnya biarlah alam dan Tuhan sang pencipta yang menentukan.

Prajurit Harmen Batubara juga demikian, setelah lima tahun jadi kolonel di lingkungan Topografi, maka pada tahun 2004 kepadanya diberi penugasan baru di Direktorat Strategi Pertahanan Departemen Pertahanan. Kalau bicara juru ukur, geodet dan prajurit maka menjadi prajurit Topografi adalah sebuah pilihan yang menggairahkan. Untuk para geodet muda. terutama bagi mereka yang senang kerja di alam bebas, saya merekomendasikan Topografi-AD adalah pilihan terbaik. Lalu bagaimana tentang keuangan dan jenjang kariernya? Yang jelas Korps Topografi dari jalur akademi nyatanya ada juga yang bisa mencapai bintang tiga. Lagi pula, kalau anda sudah jadi prajurit, anda tidak akan tega untuk menanyakan prihal kenaikan pangkat anda sendiri.

——————————–

Kolonel Ir. Harmen Batubara, alumni Teknik Geodesi UGM angkatan 1973 (nomor alumni: 73). Pernah bekerja di Direktorat Wilayah Pertahanan Ditjen Strahan Dephan Jl Dr. Wahidin I no. 11 Jakarta Pusat

——————————–

Catatan: Tulisan ini dikutip dari buku Refleksi Inspiratif Pemetaan Jejak Perjalanan Alumni Teknik Geodesi UGM pada rangkaian Peringatan Setengah Abad Teknik Geodesi FT UGM, yang diterbitkan pada 28 Mei 2009.

——————————–

Comment

Tulisan Lainnya

Perjalanan Karier Seorang Alumni Teknik Geodesi UGM Semua Ilmu Dapat Bermanfaat dalam Menunjang Kehidupan yang Bermakna

08.08.2024

Muchtar Luthfie, demikian nama yang diberikan oleh kedua orang tua saya, pasangan Bapak M.

  • No React!

Laporan dari Dihidros

22.02.2024

Ilmu hidrografi ternyata sangat berkaitan erat dengan geodesi. Selama berdinas di Dishidros TNI AL

  • No React!

Pengalamanku Sebagai Surveyor Hidrografi

22.02.2024

Peringatan 50 tahun Jurusan Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada merupakan refleksi perjalanan panjang dari

  • No React!

Geodesi dan Peranannya Dalam Industri Hulu Migas : Selayang Pandang dan Sekelumit Pengalaman di Pertamina EP

22.02.2024

Sejarah Singkat Industri Migas di Indonesia Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, Migas memiliki peran

  • No React!

Kisah Perjalanan Seorang Alumni Geodesi UGM Angkatan 1990

22.02.2024

Tidak terasa sejak menyelesaikan kuliah di Jurusan Teknik Geodesi UGM tahun 1995 berarti sudah

  • No React!

Kiprah Geodesiku

20.02.2024

Prakata Ketika pertama kali saya dihubungi oleh Bu Yulaikhah untuk menulis di Buku 50

  • No React!

Perjalanan Seorang Kontraktor

16.02.2024

Akhir tahun 1991, “Pendadaran” membuat perut saya mulas. Ini adalah ujian akhir secara komprehensif

  • No React!

Berkarir di Bidang Teknologi Informasi

16.02.2024

Selepas wisuda, Agustus 1990 saya mencoba mencari peluang (tertarik) kerja di bidang TI (Teknologi

  • No React!

Perjalanan dan Peluang Karier Seorang Geodet dalam Rimba Pertahanan Dirgantara

16.02.2024

Tidak secuilpun terlintas dalam benak saya saat mendaftar di Fakultas Teknik Jurusan Geodesi UGM

  • No React!

Geodesi itu Apa Sih?

16.02.2024

Pertanyaan “Geodesi itu mempelajari apa sih?” masih sering saya jumpai sampai saat ini. Orang

  • No React!

Perjalanan Karier Seorang Henny Leksmana

16.02.2024

Henny Leksmana adalah seorang yang bekerja di bidang properti, berpengalaman menjadi seorang developer, artinya

  • No React!

Jejak Perjalanan Seorang Surveyor

09.02.2024

Jejak Perjalanan Semua sistem pendidikan tentulah memiliki kelebihan dan kekurangan. Sistem Dendidikan lama di

  • No React!

Mimpi Alumni Jawa Timur

08.02.2024

Pada akhir tulisan ini nanti, kami mempunyai harapan ada seorang Dosen Jurusan Teknik Geodesi

  • No React!

Catatan Perkuliahan dan Pekerjaanku

08.02.2024

Pendahuluan Sms dari pak Maryo (30/1/09 jam 11:15:31) sangat mengejutkan saya, beliau menulis bpk

  • No React!